Medan Istimewa Tapi Tidak Pengguna Jalannya, Bikin Sengsara!
Pernahkah kamu
menemukan pengendara mobil membuka kaca lalu sesukanya membuang sampah bekas makanan
mereka di jalan raya? Apa yang kamu lakukan saat itu? Marahkah kamu atau
jangan-jangan kamu pun sering melakukan hal serupa.
Saya pernah
menanyakan hal tersebut ke salah satu rekan saat saya liburan ke Sabang ketika kami
makan siang bersama. Ajaibnya ternyata teman saya itu tidak pernah mengalami
kejadian serupa. Wah saya pikir beruntung sekali hidupnya.
Seketika saya ingin
mengajaknya berwisata ke Medan. Kota yang istimewa tapi pengguna jalannya bikin
sengsara. Makanya saya pun tak terkejut saat salah satu media Singapura, Channel News Asia menyebut Medan sebagai Gotham City.
Begal dimana-mana, pagar berjalan (dianggap) jadi hal biasa. Hah? Pagar berjalan? Kok bisa?
Bukan kok!
Pagar berjalan itu istilah untuk maraknya pencurian besi di Medan, dari pagar
rumah hingga plang papan nama jalan, itu sering dicuri, di malam hari, dibawa
dengan sepeda motor. Gila!
Saya sendiri,
bukan sekali dua kali dibuat sengsara oleh pengguana jalan raya kota Medan, tapi
sudah jadi makanan sehari-hari. Bukan cuma drama macet saja tapi juga segala
keriwehan lainnya.
Kamu mau apa? Ayo sebut saja.
Mau pengguna jalan
raya yang suka buang sampah sesukanya? Ada, banyak malah!
Mau pengguna jalan
raya yang tidak menggunakan helm? Ada juga dong!
Pengguna jalan
raya yang suka bonceng tiga? Wah ada, malahan gak pakai helm juga.
Kendaraan umum
berhenti sesukanya? Banyak dong! Nih ada fotonya.
Hayoo mau apa
lagi?
Makian dijalan
raya? Sudah biasa. Apalagi suara klason, tentu ada dimana-mana.
Polisi lalu lintas?
Wah kalau ini saya kurang tau mau jawab apa? Karena di Medan, saya sendiri
kenalnya bukan polisi pengatur lalu lintas di jalan raya. Tapi Pak Ogah.
Memang saya juga menemukan polisi lalu lintas tapi seringnya sih berjumpa
dengan Pak Ogah.
Buat yang belum tau,
Pak Ogah itu bukan orang bernama Pak Ogah ya. Wah saya jadi tidak enak hati nih
jika ada yang salah persepsi.
Pak Ogah adalah
sebutan untuk orang biasa atau masyarakat yang mengatur lalu lintas di jalan
raya dengan imbalan uang dari pengguna jalan. Biasanya berjenis kelamin
laki-laki, kondisi tidak rapi, usia beragam dari yang muda hingga tua dan mudah
sekali ditemukan keberadaannya di persimpangan jalan yang tidak ada lampu
merahnya atau lampu merahnya tidak berfungsi.
Ngapain mereka? Secara
sukarela mengambil alih peran polisi dalam mengatur lalu lintas di jalanan terutama
persimpangan jalan. Saya kadang bertanya-tanya dalam hati, pihak berwenang ini
apa tidak khawatir ya pekerjaan mereka diambil alih betulan oleh Pak Ogah?
Sebenarnya ada
banyak sapaan untuk orang jenis “Pak Ogah” ini. Mulai dari polisi cepek, polisi
tak bertopi, polisi tak berseragam dan lainnya.
Mungkin, Pak Ogah bisa menjadi mata pencaharian bagi sebagian kalangan, namun bagi saya keberadaan Pak Ogah ini sangat meresahkan. Bukan malah keluar dari kemacetan tapi malah semakin membuat macet dan tambah ruwet jalanan kota Medan.
Teman-teman yang
tinggal di Medan atau pernah liburan ke Medan, pernah punya pengalaman apa
dengan Pak Ogah ini? Coba ceritakan di kolom komentar, saya tunggu ya.
Tapi meski begitu,
Medan secara keseluruhan tetap istimewa di hati saya. Selain lahir, saya juga
besar di Medan. Saya menemukan tak hanya banyak pertemanan di kota yang sudah
berusia 434 tahun ini. Tapi juga diperkaya dengan manisnya persahabatan dan jutaan
pengalaman akan makna kehidupan.
Kota Medan, Selama
434 tahun, meski dengan segala keriwehan lalu lintasnya, tetap punya banyak kenangan
hangat di hati saya yang akan terus terpelihara.
Pesona artistik beberapa
bagiannya masih terukir dan selalu menarik perhatian. Semuanya berdiri kokoh di
tengah persimpangan peradaban. Bangunan tua bekas gedung peninggalan Belanda di
Medan, yang masih digunakan hingga sekarang, wajahnya tidak (banyak) berubah. Beberapa bahkan menjadi
landmark penting penanda Kota Medan seperti Gedung Bank Indonesia, Kantor Pos
Besar hingga Gedung London Sumatera.
Bangunan-bangunan
tua itu masih terawat, tak malu bersanding dengan pesatnya modernitas maupun
rutinitas masyarakat. Karakteristiknya mampu mempresentasikan gambaran tumbuh
kembang Kota Medan. Seolah bercerita kepada siapa saja jika sejak tahun 1870, Medan sudah menjadi pusat administrasi pendukung perekonomian.
Bahkan, Medan pernah
jadi ibu kota negara lho!
Jadi seperti
mengutip dari laman Kumparan, disebutkan bahwa sebelum menjadi Republik
Indonesia seperti sekarang, Indonesia pernah berdiri sebagai negara federasi
bernama Republik Indonesia Serikat.
Republik Indonesia
Serikat merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar dan berdiri pada 27
Desember 1949. Salah satu negara yang berada di dalamnya adalah Negara Sumatera
Timur dengan Medan sebagai ibu kotanya. Namun negara ini tidak bertahan lama,
karena akhirnya dibubarkan pada 17 Agustus 1950.
Begitulah Medan,
selalu punya kenangan yang tak hanya istimewa tapi juga bisa membikin
rindu. Namun mengingat kenangan masa
lalu saja tidak cukup. Medan harus menjadi daerah penting yang melegenda agar
memori kebanggaannya bisa terus terpelihara.
Caranya?
Tentu saja, salah
satunya dengan merubah sikap dan mental para pengguna jalannya.
Yuk mari berbenah
bersama!
Sesimple jangan bonceng
tiga dan jangan lupa pakai helm kalau berkendara.
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.