Eka Kurniawan dan Penulis Indonesia Lain yang Lahir di Bulan November
November
adalah bulan kesebelas dalam kalender Masehi yang istimewa. Bulan yang datang
setelah Oktober dan sebelum Desember ini punya 30 hari dengan beragam peristiwa
penting dan tentu penuh kenangan. Mulai dari diperingatinya Hari Diabetes
Sedunia (14 November) hingga ditetapkannya Rupiah sebagai mata uang resmi
Republik Indonesia (2 November 1949).
November
menjadi kian istimewa karena beberapa penulis kenamaan Indonesia lahir di bulan
ini. Penulis-penulis ini karyanya begitu memukau dan diterima dengan hangat
oleh masyarakat.
Lima Penulis Indonesia Lahir di Bulan November
Siapa
Saja Mereka?
1. Eka Kurniawan (28 November 1975)
Nama
Eka Kurniawan tentu tidak asing di dunia sastra Indonesia. Lulusan Fakultas
Filsafat Universitas Gajah Mada ini punya sederet prestasi mentereng di dunia
kesusastraan Indonesia. Buku-bukunya bahkan sudah banyak diterjemahkan ke
berbagai bahasa. Misalnya saja novel berjudul Cantik Itu Luka yang sudah
diterjemahkan ke dalam 34 bahasa. Keren!
Eka
pun sudah meraih beragam penghargaan tingkat nasional maupun Internasional.
Mulai dari terpilihnya Eka sebagai salah satu Foreign Policy’s Global Thinkers
of 2015, World Readers’ Award 2016 untuk novel Cantik itu Luka, Prince Claus
Award 2018 hingga Financial Times/OppenheimerFunds Emerging Voices 2016 Fiction
Award untuk buku Man Tiger atau Lelaki Harimau.
2. Ayu Utami (21 November 1968)
Penulis
novel Saman ini dilahirkan di Bogor 53 tahun lalu dan bernama lengkap Justina
Ayu Utami. Ayu bungsu dari lima bersaudara yang menamatkan pendidikan di
Jurusan Sastra Rusia Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994) dilanjutkan
ke Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995) dan Asian
Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999).
Novelnya
Saman selain menjadi pemenang sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta
(1998) juga mengundang banyak kontroversi dan sering disebut sebagai contoh
karya dengan ciri "keterbukaan baru" dalam membicarakan seksualitas. Karya
Ayu yang lain seperti novel berjudul Larung (2002), Bilangan Fu (2008) dan
kumpulan Esai Si Parasit Lajang (2003) dan Lalita (2012). Ayu merupakan salah
satu pendiri dan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan termasuk
wartawan yang ikut menandatangani Deklarasi Sinargalih.
3. Boy Chandra (21 November 1989)
Boy
Chandra lahir di Sumatera Barat 32 tahun lalu dan pernah kuliah di jurusan
Administrasi Pendidikan, Universitas Negeri Padang serta aktif di organisasi
komunikasi dan radio di kampus (UKKPK UNP). Boy memutuskan untuk fokus menulis
sejak 22 November tahun 2011 silam. Buku pertamanya berjudul Origamu Hati
terbit di tahun 2013 setelah melewati berbagai penolakan demi penolakan.
Beberapa
judul buku-buku Boy Chandra yang sudah diterbitkan seperti Cinta Paling Rumit,
Jatuh Dan Cinta, Suatu Hari Di 2018, Malik Dan Elsa, Kuajak Kau Ke Hutan Dan
Tersesat Berdua, Seperti Hujan Yang Jatuh Ke Bumi, Setelah Hujan Reda, Sebuah
Usaha Melupakan, Sepasang Kekasih Yang Belum Bertemu, Senja, Hujan Dan Cerita
Yang Telah Usai dan Catatan Yang Pendek Untuk Cerita Yang Panjang.
4. A. A. Navis (17 November 1924)
Navis,
nama lengkapnya Ali Akbar Navis, lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, Sumatra
Barat pada 17 November 1924 dan meninggal pada 22 Maret 2003 di Padang. Ia
menikah dengan Aksari Yasin (1957) dan dikaruniai tujuh orang anak. Julukan
yang diberikan pada Navis adalah "pencemooh nomor wahid" dan
"sastrawan satiris ulung".
Cerpen
pertamanya berjudul Robohnya Surau Kami (1955) mengejutkan pembaca sastra
Indonesia karena menyindir pelaksanaan kehidupan beragama. Robohnya Surau Kami
bahkan sudah diterjemahkan ke dalam empat bahasa (Inggris, Jerman, Perancis,
dan Jepang). Navis pernah menjabat Pemimpin Redaksi Harian Umum Semangat
(1971—1972) dan anggota DPRD Sumatra Barat periode 1971—1982.
Adapun
novel-novelnya berjudul Kemarau (1967), Saraswati si Gadis dalam Sunyi (1970)
dan karya-karya lainnya. Sejumlah penghargaan yang diterima Navis antara lain
Anugerah Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988 ) Hadiah
Sastra South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1992), Satyalencana
Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia (2000).
5. Sanusi Pane (14 November 1905)
Sanusi
Pane dilahirkan di Muara Sipongi, Tapanuli, Sumatera Utara pada 14 Mei 1905.
Sanusi meninggal di Jakarta tanggal 2 Juni 1968. Semasa hidupnya ia sempat memimpin Perguruan
Rakyat di Jakarta dan aktif dalam berbagai kegiatan jurnalistik dengan menjadi
Pemimpin pada Harian Kebangunan. Sanusi juga sempat menjadi kepala pengarang
pada Sidang Pengarang Balai Pustaka.
Sanusi mempunyai minat serius terhadap penulisan sejarah nasional Indonesia dan ia membuktikan keseriusannya dengan menulis buku berjudul Indonesia Sepanjang Masa (1952) yang merupakan kritik terhadap cara penulisan sejarah Indonesia saat itu. Karya-karya Sanusi Pane yang terkenal diantaranya, Pancaran Cinta (1926) Puspa Mega (1927), Airlangga (1928), Madah Kelana (1931) dan Manusia Baru (1940).
Kamu
sudah baca karya siapa saja? Kira-kira karya siapa nih yang paling kamu suka?